Rakhine - Ketegangan yang terus berlanjut di negara bagian
Rakhine utara, Myanmar, dikhawatirkan sumber-sumber intelijen akan menyemai
benih-benih radikalisme dan militansi kaum Rohingya.
Sebagaimana santer
diberitakan belakangan ini di berbagai media, Kekerasan etnis Rohingya dan
Rhakine memangsa 78 orang tewas pada Juni lalu, sementara sejumlah 90.000
orang mengungsi. Tindak kekerasan itu bermula dari desas-desus mengenai
seorang perempuan Rhakine yang diperkosa tiga etnis Rohingya.
Dari perspektif keamanan,
situasi negara bagian Rakhine ini sangat ringkih dan mudah meletup setiap
saat, kata seorang diplomat asing di Yangon. Ia lebih was-was terhadap
dukungan dan dana asing yang mungkin dipasok ke komunitas Rohingya, yang
kekuatannya bisa menggelinding cepat seperti bola salju.
Etnis Rohingya berpindah dari India yang kemudian memisahkan
diri menjadi Bangladesh sekarang, ke Burma pada pertengahan abad 18. Mereka
menetap di negara bagian Rakhine, tapi tidak pernah dianggap sebagai warga
negara Myanmar, sementara Bangladesh juga melihat mereka dengan mengernyitkan
dahi. Ada sekitar 800.000 orang Rohingya di Myanmar.
Mereka sering juga disebut sebagai orang Bengali, namun mereka
tidak masuk dalam daftar 130 etnis nasional Myanmar dan telah dipinggirkan
selama beberapa dekade.
Militansi kaum Rohingya pada awal 1980-an dan 1990-an tidak
berlangsung lama. Baru-baru ini ada laporan yang belum dikonfirmasikan
kebenarannya mengenai dua pengungsi Rohingya yang ditahan aparat Bangladesh
karena diketahui intensif berhubungan dengan kelompok militan terlarang di
Bangladesh, Jamiat-ul Mujahidin.
Badan-badan keamanan dan intelijen Bangladesh khawatir
Jamiat-ul Mujahidin ini akan menggunakan etnis Rohingya sebagai tempat
penyemaian bibit radikalisme yang bisa mengubah hubungan Bangladesh–Myanmar
menjadi semakin masam.
Setelah kekerasan membara di Rakhine, Taliban Pakistan
menampilkan diri sebagai pahlawan pembela kaum muslimin Rohingyaa dan
mengatakan “kami akan membalas dendam darah Anda”. Hizbullah dan Taliban
Afghanistan juga menyatakan dukungan kepada etnis Rohingya.
Pejabat-pejabat India takut kelompok Islam Radikal ini bisa
mengekspolitasi situasi kaum Rohingya untuk kepentingan mereka sendiri,
menurut laporan yang ditulis di koran International Business Times. PBB memandang
Rohingya sebagai salah satu kelompok minoritas paling teraniaya di dunia.
Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin kemarin menolak
tuduhan penyiksaan terhadap kaum Rohingya oleh tentara Myanmar. Pada
konferensi pers di Yangon yang dihadiri Pelapor Khusus PBB Tomas Ojea
Quintana, ia mengatakan pemerintah Myanmar "menahan diri secara maksimun
"terhadap konflik etnis di Rakhine.
Menurut Lwin konflik ini dicoba ditarik oleh kelompok-kelompok
di luar Myanmar sebagai konflik sektarian yang berbahaya. Padahal ini murni
konflik etnis. Presiden Myanmar Thein Sein mengatakan bahwa hanya generasi
ketiga keturunan Rohingya yang datang ke negara itu sebelum kemerdekaannya
pada 1948 diakui sebagai warga negara.
Dia juga mengatakan kaum Rohingya harus dipulangkan ke negara
lain (Bangladesh). Namun ratusan ribu orang Rohingya tidak memiliki
kelengkapan administrasi. Pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi juga kecewa
kepada para aktivis hak asasi manusia dengan tidak menawarkan dukungan yang
lebih kuat kaum Rohingya. [Dari berbagai sumber]
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar