Senin, 23 Juli 2012

ISU DAN PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM


ISU DAN PROBLEM PENDIDIKAN ISLAM
PADA PONDOK PESANTREN

A.    Pondok Pesantren
1.      Pengertian Pondok Pesantren
Perkataan pesantren berasal dari kata “santri” dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan asal usul kata santri, dalampandangan Nurcholis madjid dapat dilihat dari dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahsa sansekerta yang artinya melek huruf, di sisi lain Zamakhsyari Dhofier berpendapat, kata “santri” dalam bahasa India berarti orang yang tahu kitab suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Atau secara umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, berarti seserang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru ini pergi menetap.
Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab “funduk”, yang berarti hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal sederhana.
Nurcholis Madjid berpendapat, secara histori pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan islam tinggal meneruskan, melestarikan dan mengislamkan.
Dalam pemakaian sehari-hari pesantren adalah lemabagg yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistempendidikan nasional.

2.      Tujuan Pendidikan pesantren
Tujuan pesantren merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan, disamping faktor-faktor lainnya yang terkait : pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pendidikan. Tujuan yang tidak jelas akan mengaburkan seluruh aspek tersebut.
Menurut Hiroko Horikoshi melihat dari segi otonominya maka tujuan pesantren adaalh untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri. Sedangkan Manfred Ziemek tertarik melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan intelektual. Tujuan pesantren menurut pengamatannya adalah membentuk kepribadian, memamntapkan akhlak danmelengkapinya dengan pengetahuan.
Tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang berguna bagi agama, masyarakat, dan negara.
Dari beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan pesantren di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren adalam membentuk kepribadian Muslim yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat bagi agama, masyarakat dan negara.

3.      Unsur-unsur Pokok Pesantren
Menurut Abdul Mugist unsur-unsur pokok pesantren itu ada lima, antara lain:
1)      Kiai
Kiai secara etimologis b erarti alim ulama atau cerdik pandai dlam agama Islam. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, kiai adalah seorng ahli agama yang banyak berperan sebagai konsultan agama di lingkungan tradisional, terutama di daerah pedesaan, meskipun tidak memangku pesantren, sehingga sering dikenal sebagai kiai (imam) langgar atau kiai (imam) masjid, yang tidak memiliki lembaga  pendidikan formal, seperti madrasah, dan non formal seperti pesntren.
Dalam terminiologi pesantren kiai adalah pendiri, pemilik, pengasuh, pemimpin, guru tinggi, dan komando tertinggi pesantren, pengayom santri dan masyarakat sekitarnya serta konsultan agama (spiritual).

2)      Masjid dan Musalah
Masjid adalah tempat ibadah shalat umat Islam, terutama shalat Jum’at dan shalat ‘Id. Jenis shalat yang terakhir inilah yang kemudian menentukan suatu tempat ibadah itu di sebut dengan masjid. Lain dengan musalah (langgar, suarau) yang hanya untuk ibadah shalat lima waktu saja selain shalat Jum’at dan ‘Id.
Di pesantren, masjid adalah pusat kegiatan intelektual dan spiritual. Biasanya untuk kajian-kajian kitab utama yang dengan sistem bandongan oleh kiai atau krabat ndalem menempati masjid.

3)      Santri
Santri adalah siswa yang belajar ilmu agama islam di pesantren. Khusus di pesantren, terminologi santri memiliki dua makna, yaitu makna yang sempit dan makna yang luas. Makna sempit santri adalah para siswa yang masih belajar di pesantren dengan mengecualikan para guru (ustadz) sebagai pembantu kiai. Sedangkan makna luasnya adalah orang yang pernah belajar di pesantren, baik santri dalam pengertian pertama tadi maupun ustadz, dan baik yang masih tinggal di pesantren maupun para alumni yang sudah tinggal di luar pesantren.

4)      Kitab Kuning: Simbol Kelestarian Transmisi Intelektual
Kitab kuning ini adalah sebutan untuk kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis di atas kertas berwarna kuning. Istilah ini adalah asli Indonesia, khususnya Jawa, sebagai salah satu identitas tradisi pesantren dan utnuk membedakan jenis kitab lainnya yang ditulis di atas kertas putih.


5)      Pondok
Pondok atau asrama adalah tempat tinggal santri di pesantren. Pada mulanya pondok di pesantren dibangun dengan ala kadarnya. Sebutan pondok sendiri berkonotasi pada bangunan yang sangat sederhana yang terbuat dari bambu.

B.     Isu dan Problema Pendidikan Islam pada Pondok Pesantren Serta Solusinya
Seperti diketahui bahwa sebagian pengamat pesantren yang meneliti, lembaga ini secara parsial memberikan suatu konklusi bahwa lembaga pesantren lahir sebagai perwujudan sikap budaya lokal yang hanya mampu menawarkan bentuk pengajaran yang statis dan tidak dinamis. Hal ini dapat dilihat dari gaya keemimpinan, kurikulum dan metode pendidikan yang ada di pesantren.
  1. Kepemimpinan Kiai
Secara apoloigetik dibanggakan bahwa kepemimpinan atau pola pimpinan dalam pesantren adalah demokrais, ikhlas, suka rela, dan seterusnya. Mungkin kalau dibandigkan dengan pola kepemimpinan di sekolah-sekolah kolonial Hindia Belanda anggapan ini memang benar. Tetapi, bila diukur dengan perkembangan zaman keadaannya menjadi lain. Banyak kriteria-kriteria yang dijadikan tolak ukur bagi seorang pemimpin pesantren.
  1. Karisma: Kenyataan bahwa pola kepemimpinan kiai adalah pola kepemimpinan karismatik sudah cukup menunjukan tidak demokratisnya, sebab tidak rasional. Apalagi jika disertai dengan tindakan-tindakan yang secara sadar maupun tidak bertujuan memelihara karisma itu, seperi prinsip “keep distance” atau “keep aloof” (jaga jarak dan ketinggian) dari para santri, maka pola kepemimpinan itu benar-benar akan kehilangan kualitas demokratis.
  2. Personal: karena kepemimpinan kiai adalah karismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau “personal”. Kenyataan itu mengandung implikasi bahwa seorang kiai tidak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukan ke bawah administrasi dan manajemen modern.
  3. Religio Feodalisme: seorang kiai selain menjadi pimpinan agama sekaligus merupakan “traditional mobility” dalan masyarakat feodal. Dan feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebih berbahaya daripada feodalisme biasa.
  4. Kecakapan Teknis: karena dasar kepemimipinan dalam pesantren adalah seperti diterangkan di atas, maka dengan sendirinya faktor kecakapan teknis menjadi tidak begitu penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.
Akibat fatal dari kepemimpinan individual kiai tersebut menyadarkan sebagian pengasuh pesantren, Departemen Agama, disamping masyarakat muslim sekitar. Mereka berusaha menawarkan solusi yang terbaik guna menanggulangi musibah kematian pesntren. E. Shobirn Nadj melaporkan, sekitar tahun 1978, Departemen Agama pernah mengintrodusir bentuk yayasan sebagai bahan hukum pesantren. Pengenalan terhadap yayasan ini merupakan solusi yang strategis. Beban kiai menjadi ringan karena ditangani bersama sesuai dengan tugas masing-masing.

  1. Kurikulum Pesantren
Segi kurikulum adalah segi yang lebih penting dari segi yang lainnya. Dalam segi ini terdapat ketidak cocokan antara dunia pesantren dengan dunia luar:
  1. Agama: yang masuk dalam pengertian pelajaran agama biasanya apa saja (yang untuk mudahnya) “tertulis dan mengandung unsur bahasa Arab”.
  2. Nahwu-Saraf: adalah aneh bahwa pelajaran gramatika bahasa (Arab) cenderung untuk dimasukan ke dalam ilmu agama.
  3. Keagamaan: berbeda dengan perkataan agama di atas yang lebih tertuju pada segi formil dan ilmunya saja, perkataan keagamaan ini dimaksudkan sesuatu yang lebih mengenai semangat dan rasa  agama (religiusitas).
  4. Pengetahuan umum: barangkali sekarang ini paraktis semua pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan umum.
  5. Sistem pengajaran: sistem yang biasanya dipakai dalam pesantren itu terkenal tidak efesien.
  6. Intelektualisme dan Verbalisme: sebetulnya dalam ilmu-ilmu fiqih, ‘qa’id, dan nahwu sharaf itu mengandung rasionalisme.
Dari paparan materi pelajaran di pesantren tersebut dapat digeneralisasikan bahwa kajian keilmuan di pesantren didominasi ilmu-ilmu agama dan ilmu agama ini tidak akan berkembang dengan baik tanpa ditunjang ilmu-ilmu lainnya (ilmu sosial, humaniora, dan kealaman).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut seharusnya mengenai isi atau materi kurikulum ini, dalam disiplin ilmu pendidikan modern, meliputi tiga jenis materi, yaitu ilmu pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan materi yang memiliki nilai afektif. Ketiga unsur inilah yang membentuk materi pendidikan yang berbentuk disiplin ilmu pengetahuan.
Selanjutnya,  keterpaduan kurikuluma harus seimbang dan harmonis antara pendidikan keilmuan dengan pendidikan keterampilan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasar global. Artinya program kurikulum harus diarahkan sesuai dengan kebutuhan pengetahuan dan keterampilan di masa depan.

  1. Metode Pendidikan Pesantren
Ada metode tertentu yang dipandang tidak efektif dan efisien, ternyata menyimpan keunggulan tertentu. Seperti metode sorogan dan lalaran yang ada di pesantren dikembangkan ke arah pemahaman materi pokok. Pembelajaran secara brhadap-hadapan dalam sistem sorogan memang memungkinkan kiai menguji kedalaman pengetahuan santri secara individual.
Kasus lain terjadi pada hafalan. Metode hafalan ini dipertahankan dengan alasan bahwa orang-orang yang hafal adalah argumen atas orang-orang yang tidak hafal. Akan tetapi, praktek hafalan di pesantren hampir meniadakan aspek-aspek pemahaman kognitif-rasional dan pengembangan wawasan. Maka diperlukan adanya pertimbangan antara aspek afektif dengan kognitif dalam proses pengajaran kitab kuning.
Selanjutnya, hal yang dapat dipandang sebagai sisi negatif lain adalah hilangnya keberanian untuk berbeda pendapat. Keadaan ini terjadi akibat metode pendidikan di pesantren kurang memberikan ruang dialog lantaran sistemnya yang berpusat pada kiai. Kreativitas santri tidak berkembang dengan baik, mereka takut bertanya dan berbeda pendapat. Sikap bertanya atau berbeda pendapat masih dianggap sebagai su’ul adab. Inilah yang menyababkan metode-metode pembelajaran di pesantren seperti sorogan, bandongan, halaqoh, danlalaran tidak beranjak dari orientasi content-knowledge belum mengarah pada understanding dan contruction of the knowledge.
Selanjutnya adalah metode evaluasi. Evaluasi adalah penilaian atas tugas, kewajiban dan pekerjaan. Metode evaluasi ini dapat menumbuhkan persaingan yang sehat dikalangan santri untuk mencapai prestasi yang maksimal bila evaluasi dilaksanakan secar profesional. Artinya, evaluasi dilakukan dengan ketat dan memiliki konsekkuensi yang jelas, misalmya jika hasil evaluasi menunjukan nilai seseorang santri yang rendah berarti dia tidak bisa naik kelas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger